Setiap negara pasti berusaha untuk melaksanakan
pengelolaan keuangan negara yang baik. Untuk mencapai pengelolaan Negara yang
baik, maka setiap negara harus mempunyai perencanaan anggaran untuk periode
waktu tertentu. Salah satu cara negara agar tercapai pengelolaan keuangan negara
yang baik yaitu membuat anggaran pendapatan dan belanja negara setiap tahunnya.
Sifat-sifat anggaran juga ada beberapa jenis, yaitu anggaran surplus, anggaran
berimbang, dan anggaran defisit. Setiap bentuk anggaran tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangan.
Sekarang kita lihat di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Di Indonesia setiap tahunnya selalu dirancang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dan saat ini anggaran yang dipakai pemerintah adalah
anggaran defisit. Tujuan pemerintah dari pemakaian anggaran defisit ini yaitu
untuk mendorong stimulus ekonomi. Namun, akibat dari penggunaan anggaran
defisit ini adalah alokasi pendapatan yang tidak dapat memenuhi alokasi
belanja. Akibatnya pemerintah harus mencari sumber pendapatan alternatif.
Salah satu sumber pendapatan untuk menutupi
kekurangan alokasi belanja tersebut adalah pembiayaan. Pembiayaan adalah setiap
penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima
kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggran
berikutnya. Sumber pendapatan pembiayaan ini dapat berasal dari utang atau
pinjaman, menjual aset milik negara, dan privatisasi.
Kita akan lebih berfokus pada pinjaman. Pinjaman
yang dimaksud dapat berasal dari dalam negeri maupun berasal dari luar negeri.
Setiap pelaksanaan pinjaman akan membutuhkan sebuah perjanjian, yaitu perjajian
antara peminjam (borrower) dengan pemberi pinjaman (lender). Setiap pinjaman
pasti akan menghasilkan beban masa depan, baik beban atas pokok utang maupun
beban atas bunga utang tersebut.
Oleh karena itu, pengelolaan utang atau pinjaman
harus dilakukan seefektif dan seefisien mungkin. Agar pengelolaan utang atau
pinjaman tersebut dapat berjalan efektif dan efisien, maka harus dibuat suatu
aturan dan tata cara pelaksanaannya, sehingga tidak menyimpang dari tujuan
pelaksanaan pinjaman itu. Di Indonesia, peraturan yang mengatur tentang
pengelolaan pinjaman terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006
juncto Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman
dan Hibah Luar Negeri. Peraturan ini akan kita bahas secara lebih mendalam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pinjaman
berarti utang yang dipinjam dari pihak lain dengan kewajiban membiayai kembali. Sedangkan hibah adalah pemberian (dengan sukarela) berupa pengalihan hak atas
sesuatu kepada pihak lain. Pinjaman adalah sumber pembiayaan negara yang
diperoleh baik dari dalam negeri maupun luar negeri dengan kewajiban harus
dibayar kembali sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Sedangkan
definisi pinjaman luar negeri menurut PP No. 10 Tahun 2011 adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh
Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian
pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali
dengan persyaratan tertentu.
Sebelum terbitnya PP No. 10 Tahun 2011 Tentang
Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, telah ada PP No.
2 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengadaan
Pinjaman dan/atau Penerimaan serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar
Negeri. Dalam PP No. 10 Tahun 2011 tidak lagi mengatur tentang tata cara
penerusan pinjaman kepada pemerintah daerah dan/atau BUMN. Di dalam PP Nomor 10
Tahun 2011 ada tambahan prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan
pengadaan pinjaman dan hibah luar negeri, yaitu:
- Transparan;
- Akuntabel;
- Efisien dan Efektif;
- Kehati-hatian;
- Tidak disertai ikatan politik;
- Tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negara.
Pemenuhan prinsip-prinsip ini diperlukan agar
Negara dapat terhindar dari kepentingan-kepentingan pribadi
dan/atau kelompok tertentu.
Di dalam PP Nomor 10 Tahun 2011 ini juga
terdapat aturan tambahan, yaitu pembagian pinjaman luar negeri menurut jenisnya
yang terdiri dari pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan. Metode penggunaan kedua
jenis pinjaman ini berbeda, sehingga hal ini perlu ditambahkan dalam aturan.
Ada beberapa sumber pinjaman luar negeri, yang di dalam PP Nomor 10 Tahun 2011
berasal dari kreditor multilateral, kreditor bilateral, kreditor swasta asing,
dan lembaga penjamin kredit ekspor.
Sumber-sumber pinjaman luar negeri ini sedikit
berbeda dengan sumber pinjaman luar negeri yang terdapat dalam PP Nomor 2 Tahun
2006 yang terdiri dari Negara asing, lembaga multilateral, lembaga keuangan dan
lembaga non keuangan asing, dan lembaga keuangan non asing. Dengan perubahan
tersebut, maka sumber-sumber pinjaman luar negeri memiliki ranah yang sedikit
lebih luas. Bagaimana penggunaan pinjaman luar negeri juga perlu diatur,
sehingga di dalam PP Nomor 10 Tahun 2011 ditambahkan aturan tentang penggunaan
pinjaman, yaitu:
- Membiayai defisit APBN;
- Membiayai kegiatan prioritas Kementerian/Lembaga;
- Mengelola Portofolio Utang;
- Diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah;
- Diteruspinjamkan kepada BUMN; dan/atau
- Dihibahkan kepada Pemerintah Daerah.
Menteri harus menyusn rencana batas maksimal
pinjaman luar negeri yang ditinjau setiap tahun dengan mempertimbangkan:
- Kebutuhan riil pembiayaan;
- Kemampuan membayar kembali;
- Batas maksimal kumulatif utang;
- Kapasitas sumber pinjaman luar negeri; dan
- Risiko utang.
Menteri Perencanaan juga harus menyusun rencana
pemanfaatan pinjaman luar negeri untuk pinjaman kegiatan jangka menengah dan
tahunan untuk pembiayaan yang dituangkan dalam dokumen:
- Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri;
- DRPLN-JM;
- DRPPLN; dan
- Daftar Kegiatan.
Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan BUMN
harus menyampaikan usulan kegiatan yang ingin dibiayai pinjaman luar negeri
kepada Menteri Perencanaan. Lalu, Menteri Perencanaan melakukan penilaian
kelayakan usulan kegiatan. Selanjutnya, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah,
dan BUMN harus melakukan peningkatan kesiapan kegiatan untuk rencana kegiatan.
Menteri Perencanaan melakukan penilaian pemenuhan kriteria kesiapan kegiatan.
Dalam perjanjian luar negeri dikatakan harus memuat paling sedikit:
- Jumlah;
- Peruntukan;
- Hak dan Kewajiban; dan
- Ketentuan dan Persyaratan.
Pelaksanaan perundingan dalam hal pinjaman
kegiatan sebagaiman tertulis dalam PP Nomor 10 Tahun 2011 melibatkan unsur Kementerian
Keuangan, Kementerian Perencanaan, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah,
BUMN, dan/atau instansi terkait lainnya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara menetapkan bahwa untuk membiayai dan mendukung kegiatan
prioritas dalam rangka mencapai sasaran pembangunan, Pemerintah dapat
mengadakan pinjaman dan/atau menerima Hibah baik yang berasal dari dalam negeri
maupun dari luar negeri serta penerusan pinjaman atau hibah luar negeri kepada
Pemerintah Daerah/BUMN/ Badan Usaha Milik Daerah.
Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 38
ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
Pinjaman Luar Negeri dan Hibah Pemerintah memerlukan dasar hukum yang
ditetapkan dengan suatu peraturan pemerintah untuk menjamin terlaksananya
tertib administrasi dan pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah.
Dasar hukum Pinjaman Luar Negeri dan hibah luar
negeri telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Luar Negeri serta Penerusan
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. Namun dalam perkembangannya, ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah tersebut dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan
pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah, perkembangan pasar keuangan, serta
tuntutan terhadap prinsip pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah yang baik
(good governance).
Hal ini menghendaki penyempurnaan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006. Dalam Peraturan Pemerintah ini telah diakomodasi
berbagai ketentuan mengenai pengelolaan Pinjaman Luar Negeri yang berupa
pemisahan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing institusi yang terkait,
penyempurnaan konsep mengenai batas maksimal Pinjaman Luar Negeri yang
dimaksudkan sebagai alat pengendali dalam rangka pengelolaan portofolio utang
secara optimal dan pemenuhan kebutuhan riil pembiayaan, konsep mengenai fleksibilitas pemilihan sumber
pembiayaan, Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri, dan penerimaan Hibah melalui
Dana Perwalian.
Selain itu, untuk memperjelas kebijakan peneruspinjaman
Pinjaman Luar Negeri baik untuk kebutuhan pembiayaan APBD melalui Pinjaman Luar
Negeri dan pemberian Hibah oleh Pemerintah yang bersumber dari Pinjaman Luar
Negeri untuk pembiayaan kegiatan tertentu bagi Pemerintah Daerah berdasarkan
kebijakan Pemerintah maupun untuk kebutuhan BUMN untuk investasi. Pengaturan
mengenai penerimaan Hibah Pemerintah diarahkan untuk membuka seluas-luasnya Hibah kepada Pemerintah baik yang bersumber dari dalam negeri maupun
yang bersumber dari luar negeri untuk mendukung kegiatan prioritas Pemerintah
guna mencapai tujuan pembangunan nasional, namun dengan tetap menjaga
kehati-hatian (prudent), transparansi, dan akuntabilitas dalam proses
penerimaannya.
Oleh karena itu, Kementerian/Lembaga/Pemerintah
Daerah perlu diberikan kewenangan untuk mengusahakan Hibah sebanyak-banyaknya
akan tetapi harus dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip penerimaan Hibah
yang baik. Mekanisme penerimaan Hibah juga perlu dipermudah dan disederhanakan, sehingga tidak menimbulkan proses birokrasi yang rumit yang dapat menimbulkan
disinsentif bagi calon pemberi Hibah karena terkesan dipersulit.
Untuk itu, maka dalam proses penerimaan Hibah perlu dibuka dua jenis alternatif, yaitu Hibah yang dilaksanakan melalui mekanisme perencanaan dan Hibah langsung, yaitu Hibah yang tidak perlu mengikuti mekanisme perencanaan namun tetap diregistrasikan dan ditatausahakan. Kedua alternatif penerimaan Hibah tersebut diharapkan dapat menjembatani perbedaan kepentingan dari pihak calon pemberi Hibah yang menghendaki kemudahan dalam pemberian Hibah dan dari kepentingan pihak Pemerintah sebagai penerima Hibah yang menghendaki penerimaan Hibah harus mengikuti ketentuan APBN dengan proses yang dianggap kurang memberi kemudahan, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Hibah yang diterima Pemerintah yang bersumber dari luar negeri dapat diterushibahkan atau dipinjamkan kepada Pemerintah Daerah, atau dipinjamkan kepada BUMN sepanjang diatur dalam Perjanjian Hibah. Guna menjamin terwujudnya penerimaan Hibah yang transparan dan akuntabel, maka penerimaan Hibah tersebut perlu ditatausahakan dengan baik, diadministrasikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, dilakukan publikasi informasi, dilakukan monitoring, evaluasi, dan pengawasan secara terus-menerus. Oleh karena itu, untuk menyesuaikan perkembangan pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Luar Negeri serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
Perkembangan terjadi sangat cepat di dunia ini, baik dari segi ekonomi, politik, hukum, dan lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan perubahan-perubahan untuk mengimbangi perkembangan tersebut, tidak terkecuali peraturan-peraturan. Sebuah peraturan dapat dikatakan bersifat dinamis, Karena harus bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Begitu pula yang terjadi pada peraturan mengenai pinjaman dan hibah luar negeri. Jika sebuah peraturan tidak bisa mengikuti perkembangan situasi dan kondisi, maka banyak hal yang tidak diharapkan akan terjadi.
Oleh karena itu, untuk menyesuaikan perkembangan pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah, Pemerintah mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Luar Negeri serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri.
Untuk itu, maka dalam proses penerimaan Hibah perlu dibuka dua jenis alternatif, yaitu Hibah yang dilaksanakan melalui mekanisme perencanaan dan Hibah langsung, yaitu Hibah yang tidak perlu mengikuti mekanisme perencanaan namun tetap diregistrasikan dan ditatausahakan. Kedua alternatif penerimaan Hibah tersebut diharapkan dapat menjembatani perbedaan kepentingan dari pihak calon pemberi Hibah yang menghendaki kemudahan dalam pemberian Hibah dan dari kepentingan pihak Pemerintah sebagai penerima Hibah yang menghendaki penerimaan Hibah harus mengikuti ketentuan APBN dengan proses yang dianggap kurang memberi kemudahan, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Hibah yang diterima Pemerintah yang bersumber dari luar negeri dapat diterushibahkan atau dipinjamkan kepada Pemerintah Daerah, atau dipinjamkan kepada BUMN sepanjang diatur dalam Perjanjian Hibah. Guna menjamin terwujudnya penerimaan Hibah yang transparan dan akuntabel, maka penerimaan Hibah tersebut perlu ditatausahakan dengan baik, diadministrasikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, dilakukan publikasi informasi, dilakukan monitoring, evaluasi, dan pengawasan secara terus-menerus. Oleh karena itu, untuk menyesuaikan perkembangan pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Luar Negeri serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
Perkembangan terjadi sangat cepat di dunia ini, baik dari segi ekonomi, politik, hukum, dan lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan perubahan-perubahan untuk mengimbangi perkembangan tersebut, tidak terkecuali peraturan-peraturan. Sebuah peraturan dapat dikatakan bersifat dinamis, Karena harus bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Begitu pula yang terjadi pada peraturan mengenai pinjaman dan hibah luar negeri. Jika sebuah peraturan tidak bisa mengikuti perkembangan situasi dan kondisi, maka banyak hal yang tidak diharapkan akan terjadi.
Oleh karena itu, untuk menyesuaikan perkembangan pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah, Pemerintah mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Luar Negeri serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri.
Very narrow areas of expertise can be very productive.
Develop your own profile,
Develop your own niche.
-Leigh Steinberg-
Related Post:
SUN dan Perbandingannya dengan Instrumen Lain
Peran Surat Utang Negara (SUN) dalam Pembiayaan
Persamaan dan Perbedaan UU SUN dengan UU SBSN
Latar Belakang dan Highlight (Ringkasan) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara
Contoh Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau Term of Reference (TOR)
Faktor-Faktor Penyebab Fluktuatif Harga Saham
Implementasi Sunset Policy
Sejarah dan Pengelolaan Surat Utang Negara
Dana Desa Katalisator Pembangunan Indonesia
Incremental Budgeting (Traditional Budgeting)
Desentralisasi Fiskal, Sudah Tepatkah?
Peranan Pajak dalam Pemerintahan Indonesia
Mengupas Kebijakan Tax Amnesty
No comments:
Post a Comment
1. Mohon cantumkan sumber jika mengutip artikel
2. Share jika bermanfaat
3. Kritik, saran, dan pertanyaan Saudara sangat saya harapkan